Berisi Peraturan Daerah Kabupaten Lombok Timur yang telah ditetapkan dan diundangkan
Rabu, 02 Juli 2014
PERDA NO 9 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN KORBAN PERDAGANGAN ORANG DAN TINDAK KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK
PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR
NOMOR 9 TAHUN 2013
TENTANG
PERLINDUNGAN KORBAN PERDAGANGAN ORANG DAN TINDAK KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
BUPATI LOMBOK
TIMUR,
Menimbang
|
:
1.
|
a. bahwa setiap
orang berhak untuk bebas dari perdagangan orang dan penyiksaan atau perlakuan yang
merendahkan derajat manusia serta berhak atas rasa aman dan bebas dari segala
bentuk tindak kekerasan, tindak pidana perdagangan orang dan tindak kekerasan
terhadap Perempuan dan Anak;
b. bahwa perdagangan
orang dan tindak kekerasan terhadap Perempuan dan
Anak merupakan
pelanggaran hak asasi manusia sehingga perlu dilindungi harga diri dan
martabatnya serta dijamin hidupnya sesuai dengan fitrah dan kodratnya sebagai
manusia;
c. bahwa modus
kejahatan perdagangan orang dan tindak kekerasan terhadap Perempuan dan Anak
di Kabupaten Lombok Timur terus meningkat, sehingga diperlukan upaya
pencegahan terjadinya dan perlindungan kepada korban;
d. bahwa peraturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai Perlindungan Korban Perdagangan Orang
dan Tindak kekerasan terhadap Perempuan dan Anak belum mengatur upaya-upaya pencegahan dan
perlindungan di daerah sehingga diperlukan dukungan kelembagaan dan peraturan
yang digunakan sebagai jaminan hukum dalam pelaksanaannya;
e.
bahwa berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a,
huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu membentuk Peraturan Daerah
tentang Perlindungan Korban Perdagangan Orang dan Tindak Kekerasan Terhadap
Perempuan dan Anak.
|
Mengingat
|
:
|
1.
Pasal 18 Ayat (6) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2.
Undang-Undang Nomor 69 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah-daerah
Tingkat II dalam Wilayah Daerah-daerah
Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa
Tenggara Timur (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor 122, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 1655);
3.
Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi tentang Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (Convention
on The Elimination of All form of Discrimination Againts Women) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1984 Nomor 29 Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3277);
4.
Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 1999 tentang Pengesahan Konvensi ILO Nomor 138 Mengenai Usia
Minimum Anak diperbolehkan Bekerja (Concerning Minimum
Age for Admission to Employment) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1989 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3835);
5.
Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3836);
6.
Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan Konvensi ILO Nomor 182 mengenai
Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk
Untuk Anak (Convention No 182
Concerning The Prohibition and Immediate Action for Elimination of The Worst Forms
of Child Labour ) (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun
2000 Nomor 30, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3941);
7.
Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2002 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4235);
8.
Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 95, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4419);
9.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4437) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 tahun
2008 tentang perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
10.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4720);
11.
Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan
Kerjasama Pemulihan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2006 Nomor 15, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4604);
12.
Peraturan Daerah Kabupaten
Lombok Timur Nomor 12 Tahun 2006 tentang Penempatan,
Perlindungan dan Pembinaan Tenaga Kerja Indonesia Asal Kabupaten Lombok Timur
(Lembaran Daerah Kabupaten Lombok Timur Tahun 2006 Nomor 5, Tambahan Lembaran
Daerah Kabupaten Lombok Timur Nomor 4);
13.
Peraturan Daerah Kabupaten
Lombok Timur Nomor 7 Tahun 2007 tentang Perlindungan
Buruh/Pekerja Informal (Lembaran Daerah Kabupaten Lombok Timur Tahun 2007
Nomor 7, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Lombok Timur Nomor 7);
14.
Peraturan Daerah Kabupaten
Lombok Timur Nomor 2 Tahun 2008 tentang Urusan
Pemerintahan Yang Menjadi Kewenangan Pemerintahan Kabupaten Lombok Timur
(Lembaran Daerah Kabupaten Lombok Timur Tahun 2008 Nomor 2, Tambahan Lembaran
Daerah Kabupaten Lombok Timur Nomor 1);
15.
Peraturan
Daerah Kabupaten Lombok Timur Nomor 4 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Perangkat Daerah Kabupaten Lombok Timur (Lembaran Daerah Kabupaten
Lombok Timur Tahun 2008 Nomor 4, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Lombok
Timur Nomor 2) sebagaimana diubah dengan Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 2009
tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Lombok Timur Nomor 4 Tahun
2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Perangkat Daerah Kabupaten Lombok
Timur (Lembaran Daerah Kabupaten Lombok Timur Tahun 2009 Nomor 15, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten
Lombok Timur Nomor 10).
|
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR
dan
BUPATI LOMBOK TIMUR
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG PERLINDUNGAN
KORBAN PERDAGANGAN ORANG DAN TINDAK
KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DAN
ANAK
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan :
1.
Daerah adalah Kabupaten Lombok Timur.
2.
Pemerintah Daerah adalah Bupati dan Satuan Perangkat Daerah sebagai unsur penyelenggara
Pemerintahan Daerah.
3.
Bupati adalah Bupati Lombok Timur.
4.
Diskriminasi adalah setiap pembedaan, pelecehan atau pengucilan yang
langsung ataupun tak langsung yang didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar
agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik
yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau
penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak azasi manusia dan
kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang
politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya dan aspek kehidupan lainnya.
5.
Kekerasan adalah setiap perbuatan yang berakibat atau yang mengakibatkan
kesengsaraan dan penderitaan baik fisik, seksual, psikologis, ekonomi, termasuk ancaman
tindakan tertentu, pemaksaan atau
perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum
atau di kehidupan pribadi.
6.
Kekerasan terhadap
perempuan adalah setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat
atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik,
seksual atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau
perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di ranah
publik atau dalam kehidupan pribadi.
7.
Kekerasan terhadap
anak adalah setiap perbuatan terhadap anak yang berakibat timbulnya
kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, mental, seksual, psikologis,
termasuk penelantaran dan perlakuan buruk yang mengancam integritas tubuh dan
merendahkan martabat anak.
8.
Kekerasan dalam
rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang
berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis
dan/atau penelantaran ekonomi rumah tangga termasuk
ancaman untuk melakukan perbuatan pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara
melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
9.
Perdagangan orang
adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan,
atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan,
penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan dan penyalahgunaan kekuasaan atau
posisi rentan, penjeratan uang atau memberikan bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh
persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik
yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.
10.
Tindak pidana
perdagangan orang adalah setiap tindakan atau serangkaian tindakan yang
memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan.
11.
Anak adalah
seseorang yang belum berusia 18 tahun termasuk anak yang ada dalam kandungan.
12.
Perempuan adalah
manusia berjenis kelamin perempuan dan orang yang oleh hukum diakui sebagai
perempuan.
13.
Pencegahan adalah upaya-upaya
dan kegiatan yang dilakukan untuk mencegah terjadinya tindak pidana perdagangan
orang dan tindak kekerasan terhadap Perempuan dan Anak.
14.
Perlindungan
adalah segala tindakan pelayanan untuk menjamin dan melindungi hak-hak korban.
15.
Kekerasan fisik
adalah setiap perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, cidera, luka atau cacat
pada tubuh seseorang, gugurnya kandungan atau pingsan dan/atau menyebabkan kematian.
16.
Kekerasan
psikologis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa
percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak percaya atau
penderitaan psikologis berat pada seseorang.
17.
Kekerasan seksual
adalah setiap perbuatan yang berupa pelecehan seksual, pemaksaaan hubungan
seksual, baik dengan tidak wajar maupun dengan tidak disuka dengan orang lain
dengan tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.
18.
Penelantaran
adalah setiap tindakan secara sengaja untuk menghilangkan, mengurangi dan/atau tidak memenuhi hak-hak dari anggota keluarga.
19.
Korban adalah
setiap orang yang
mengalami tindak pidana perdagangan orang dan tindak kekerasan terhadap Perempuan dan Anak.
20.
Pelayanan adalah
kegiatan dan tindakan segera yang dilakukan oleh tenaga profesional/terlatih
sesuai dengan profesi masing-masing berupa konseling, terapi dan advokasi guna
penguatan dan pemulihan korban kekerasan.
21.
Pendampingan
adalah kegiatan dan tindakan yang dilakukan oleh pendamping selama proses
pelayanan.
22.
Pendamping adalah
orang atau perwakilan dari lembaga yang mempunyai keahlian melakukan
pendampingan.
23.
Lembaga adalah
dinas/instansi/badan dalam lingkup pemerintah daerah dan/atau lembaga swadaya
masyarakat (LSM) yang melakukan pendampingan.
24.
Pusat Pelayanan
Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang selanjutnya disingkat P2TP2A, adalah lembaga yang difasilitasi oleh
pemerintah untuk menyediakan pelayanan yang terpadu dari berbagai unit
layanan bagi korban kekerasan terhadap Perempuan dan Anak di Kabupaten Lombok
Timur.
25.
Masyarakat adalah
perseorangan, keluarga, kelompok, organisasi sosial dan/atau organisasi
kemasyarakatan.
26.
Keluarga adalah
unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami-istri, atau suami-istri
dan anaknya, atau ayah dan anaknya, serta ibu dan anaknya.
27.
Rumah Tangga
adalah anggota keluarga dan kerabat (cucu, kemenakan, kakak, adik, kakek, nenek
sepupu dan sebagainya) dan bukan kerabat (pembantu, sopir, dan sebagainya),
yang hidup dan makan dari satu dapur serta menetap dalam satu rumah.
28.
Rehabilitasi
adalah serangkaian upaya pemulihan dan pemenuhan hak-hak korban baik fisik
maupun psikis.
29.
Bantuan Hukum
adalah segala upaya untuk melakukan advokasi termasuk pelayanan, pendampingan,
dan/atau pembelaan hukum di dalam maupun di luar
Pengadilan kepada korban tindak pidana perdagangan orang dan tindak kekerasan
terhadap Perempuan dan Anak.
Pasal 2
Penyelenggaraan Perlindungan
Korban Perdagangan Orang dan Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak dilaksanakan berdasarkan asas:
a.
kemanusiaan;
b.
kesetaraan gender;
c.
nondiskriminasi; dan
d.
kepentingan terbaik bagi korban.
Pasal 3
Peraturan Daerah
tentang Perlindungan Korban Perdagangan Orang dan Tindak Kekerasan
Terhadap Perempuan dan Anak bertujuan untuk:
a. mencegah terjadinya tindak pidana perdagangan orang dan tindak kekerasan
terhadap Perempuan dan Anak;
b. menyediakan dan melengkapi payung hukum bagi penyelenggaraan perlindungan
korban di tingkat daerah;
c. melindungi korban perdagangan orang dan tindak kekerasan terhadap Perempuan
dan Anak; dan
d. menciptakan rumah tangga dan
lingkungan yang kondusif bagi perempuan dan tumbuh kembang anak.
BAB II
BENTUK PERLINDUNGAN
Pasal 4
Bentuk
perlindungan korban perdagangan orang dan tindak kekerasan terhadap Perempuan
dan Anak dalam Peraturan Daerah ini meliputi:
a.
setiap bentuk pencegahan;
b.
pemberian layanan kepada korban perdagangan orang dan tindak kekerasan terhadap Perempuan
dan Anak; dan
c.
pemberdayaan terhadap korban.
BAB III
HAK-HAK KORBAN
Pasal 5
Setiap korban
perdagangan orang dan tindak kekerasan terhadap Perempuan dan Anak berhak atas :
a.
dihormati harkat
dan martabatnya sebagai manusia;
b.
penanganan pengaduan;
c.
pelayanan kesehatan;
d.
pelayanan rehabilitasi sosial;
e.
pelayanan bantuan dan penegakan hukum;
f.
mendapatkan informasi secara lengkap;
g.
penanganan secara rahasia;
h.
reintegrasi sosial;
i.
mendapatkan kemudahan dalam proses
peradilan;
j.
jaminan terhadap
hak–hak yang berkaitan dengan status sebagai anggota keluarga dan masyarakat;
dan
k.
mendapatkan
pendampingan
Pasal 6
Khusus bagi anak
korban tindak kekerasan selain mendapatkan hak-hak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5, juga mendapatkan hak-hak khusus sebagai berikut:
a.
hak atas
kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang;
b.
hak atas kebutuhan
pelayanan dasar;
c.
hak perlindungan yang sama; dan
d.
hak mendapatkan kebebasan.
BAB IV
TUGAS DAN WEWENANG
Pasal 7
(1) Pemerintah Daerah
wajib menyelenggarakan pencegahan tindak pidana perdagangan orang dan tindak kekerasan terhadap Perempuan dan Anak.
(2)
Pemerintah Daerah wajib memberikan
perlindungan kepada korban.
Pasal 8
Untuk melaksanakan
pencegahan dan perlindungan korban perdagangan orang dan tindak kekerasan
terhadap Perempuan dan Anak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7, Pemerintah Daerah mempunyai
tugas:
a. menyediakan dana yang memadai untuk upaya pencegahan dan perlindungan
korban tindak pidana perdagangan orang dan tindak kekerasan terhadap perempuan
dan anak;
b. memberikan dukungan sarana dan prasarana;
c. menghimpun data untuk penyusunan kebijakan pencegahan dan perlindungan;
d. melaksanakan kebijakan pencegahan dan perlindungan korban yang ditetapkan
oleh Pemerintah; dan
e. melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
pencegahan dan perlindungan Korban Perdagangan
Orang dan Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak.
Pasal 9
Untuk melaksanakan tugas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 Pemerintah Daerah wajib :
a. menetapkan kebijakan, program, dan kegiatan pencegahan dan perlindungan;
b. mengumpulkan data dan informasi tentang korban dalam rangka upaya
melindungi dari tindak kekerasan;
c.
melakukan pemantauan dan evaluasi
penyelenggaraan pencegahan dan perlindungan terhadap korban; dan
d.
melakukan kerja
sama dengan pihak terkait.
BAB V
PENCEGAHAN
Pasal 10
(1) Upaya pencegahan perdagangan orang dan kekerasan terhadap Perempuan dan
Anak dilakukan secara terpadu oleh Pemerintah Daerah yang dikoordinasikan oleh
instansi yang mempunyai tugas pokok dan fungsi koordinasi dibidang pemberdayaan
perempuan dan perlindungan anak.
(2) Upaya pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan
cara:
a. membentuk jaringan kerja dalam upaya pencegahan perdagangan orang dan tindak
kekerasan terhadap Perempuan dan Anak;
b. melakukan koordinasi, integrasi, sinkronisasi pencegahan perdagangan orang
dan tindak kekerasan terhadap Perempuan dan Anak;
c. membentuk sistem pencegahan perdagangan orang dan tindak kekerasan terhadap
Perempuan dan Anak;
d. melakukan sosialisasi tentang peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan tindak pidana perdagangan orang dan tindak kekerasan terhadap Perempuan
dan Anak; dan
e. memberikan pendidikan tentang hak-hak asasi manusia dan hak-hak Perempuan
dan Anak bagi masyarakat.
Pasal 11
Di samping upaya
pencegahan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, upaya
pencegahan juga dapat dilakukan oleh:
a. keluarga
dan/atau kerabat terdekat;
b. masyarakat; dan
c. lembaga
pendidikan.
BAB VI
PELAYANAN KORBAN
Pasal 12
Penyelenggaraan pelayanan terhadap korban dilaksanakan berdasarkan prinsip:
a. cepat;
b. aman dan nyaman;
c. rasa empati;
d. nondiskriminsasi;
e. menjamin privasi dan kerahasiaan korban;
f. mudah dijangkau; dan
g. tidak dikenakan biaya;
Pasal 13
Bentuk pelayanan
yang diberikan kepada korban berupa :
a.
pelayanan pengaduan, konsultasi, dan
konseling;
b.
pelayanan pendampingan;
c.
pelayanan kesehatan;
d.
pelayanan rehabilitasi sosial;
e.
pelayanan hukum; dan
f.
pemulangan dan reintegrasi sosial.
Pasal 14
Pelayanan
pengaduan, konsultasi, dan konseling sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf
a meliputi:
a. identifikasi atau
pencatatan awal korban; dan
b. persetujuan
dilakukan tindakan.
Pasal 15
Pelayanan
pendampingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf b meliputi:
a.
mendampingi korban selama proses
pemeriksaan dan pemulihan kesehatan;
b.
mendampingi korban selama proses medicolegal;
c.
mendampingi korban selama proses
pemeriksaan di Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan;
d.
memantau kepentingan dan hak-hak korban
dalam proses pemeriksaan di Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan;
e.
menjaga privasi dan kerahasiaan korban
dari semua pihak yang tidak berkepentingan, termasuk pemberitaan oleh media
massa;
f.
melakukan koordinasi dengan pendamping
yang lain; dan
g.
memberikan penanganan yang
berkelanjutan sampai tahap rehabilitasi.
Pasal 16
Pelayanan
kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf c meliputi:
a.
pertolongan pertama kepada korban;
b.
perawatan dan pemulihan luka-luka fisik
yang bertujuan untuk pemulihan kondisi fisik korban yang dilakukan tenaga medis
dan paramedis;
c.
pemberian visum et repertum dan visum
et psikiatrikum secara gratis/cuma-cuma; dan
d.
rujukan ke layanan kesehatan yang lebih
tinggi.
Pasal 17
Pelayanan
rehabilitasi sosial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf d merupakan
pelayanan yang diberikan oleh pendamping untuk :
a.
memulihkan kondisi traumatis;
b.
penyediaan rumah aman untuk melindungi
korban dari berbagai ancaman dan intimidasi; dan
c.
memberikan dukungan secara sosial
sehingga korban memiliki rasa kepercayaan diri, kekuatan, dan kemandirian dalam
menyelesaikan masalahnya dengan cara memberikan bimbingan
rohani, dan pemulihan jiwa.
Pasal 18
Pelayanan hukum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf e untuk membantu korban dalam
menjalani proses peradilan dengan cara:
a.
memberikan konsultasi hukum yang
mencakup informasi mengenai hak-hak korban dan proses peradilan;
b.
mendampingi korban di tingkat
penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaaan dalam sidang pengadilan dan membantu
korban untuk secara lengkap memaparkan kekerasan yang dialaminya; dan
c.
melakukan koordinasi dengan sesama
penegak hukum, relawan pendamping, dan pekerja sosial agar proses peradilan
berjalan sebagaimana mestinya dan memenuhi prinsip keadilan bagi korban.
Pasal 19
Pelayanan
pemulangan dan reintegrasi sosial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf f
merupakan pelayanan yang diberikan oleh pendamping untuk :
a. melakukan
penilaian bahwa korban sudah layak/siap untuk pulang;
b. melakukan tracing (briefing ) kepada keluarga dan komunitas sekitar rumah
korban untuk menyiapkan mental keluarga dalam menerima kembali korban;
c. melakukan pendekatan reintegrasi sosial bersama Korban dan keluarga
dengan berbasis pada potensi pendukung di
komunitas serta minat
dengan menggunakan pendekatan reintegritas komprehensif (ekonomi, pendidikan, kesehatan; dan
d. melakukan bridging dengan multistakeholders
(SKPD terkait, LSM) untuk memberikan dukungan bagi kesuksesan reintegrasi bagi korban.
BAB VII
PEMBERDAYAAN
Pasal 20
(1) Pemerintah Daerah wajib
melakukan pemberdayaan kepada korban perdagangan orang dan perempuan korban
tindak kekerasan terhadap perempuan
sesuai dengan kebutuhannya.
(2) Pemberdayaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui:
a. pelatihan kerja;
b. fasilitasi untuk usaha
ekonomi produktif dan kelompok usaha bersama; atau
c. pemberian bantuan
permodalan.
(3) Pemerintah Daerah
dalam melakukan pemberdayaan kepada korban sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat bekerja sama dengan pihak swasta, lembaga swadaya masyarakat, dan instansi terkait.
Pasal 21
Pelatihan kerja
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) huruf
a meliputi:
a. pelatihan
keterampilan;
b. praktek kerja
lapangan; dan
c. pemagangan.
Pasal 22
Fasilitasi untuk
membangun usaha ekonomi produktif dan kelompok usaha bersama sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) huruf b meliputi:
a. pelatihan
keterampilan wirausaha;
b. fasilitasi
pembentukan kelompok usaha bersama; dan
c. pendampingan pengelolaan
usaha.
Pasal 23
Bantuan permodalan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) huruf c meliputi :
a. bantuan sarana dan
prasarana kerja; dan/atau
b. fasilitasi bantuan
modal kerja.
BAB VIII
KELEMBAGAAN
Pasal 24
(1) Pemerintah Daerah
wajib membetuk dan memfasilitasi berjalannya gugus tugas TPPO untuk pencegahan
dan perlindungan korban tindak pidana perdagangan orang.
(2) Pengurus dan
anggota gugus tugas TPPO terdiri atas unsur
:
a. Pemerintah Daerah;
b. Instansi terkait;
c. Kepolisian;
d. Perguruan Tinggi;
e. Lembaga Swadaya
Masyarakat; dan
f. Tokoh masyarakat.
(3) Pembentukan gugus
tugas ditetapkan dengan Keputusan Bupati.
(4) Gugus tugas
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), merupakan lembaga koordinatif yang bertugas
mengkoordinasikan pencegahan dan penanganan perdagangan orang.
(5) Ketentuan lebih
lanjut mengenai pembentukan, tugas, fungsi gugus tugas tindak pidana
perdagangan orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Bupati.
Pasal 25
(1)
Pemerintah Daerah wajib membentuk
P2TP2A untuk melakukan pencegahan, pelayanan dan perlindungan kepada Perempuan
dan Anak dari korban kekerasan.
(2)
P2TP2A sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), berfungsi sebagai pusat pelayanan terpadu dalam memberikan perlindungan
kepada Perempuan dan Anak dari tindak kekerasan.
(3)
Pembentukan P2TP2A sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) ditetapkan dengan Keputusan Bupati.
(4)
P2TP2A dalam melaksanakan tugas dan fungsinya dapat berkoordinasi
dengan jaringan unit layanan dan pihak yang berkompeten dalam melakukan upaya
perlindungan terhadap Perempuan dan Anak dari tindak kekerasan.
Pasal 26
(1) Gugus Tugas TPPO
dan P2TP2A dalam melaksanakan tugasnya berdasarkan Standar Operasional Prosedur
(SOP) Tindak Pidana Perdagangan Orang dan SOP tentang Kekerasan Terhadap
Perempuan dan Anak.
(2) SOP sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) masing-masing ditetapkan berdasarkan Keputusan Gugus
Tugas dan P2TP2A.
BAB IX
PERAN SERTA
MASYARAKAT
Pasal 27
(1) Masyarakat dapat
berperan serta dalam penyelenggaraan perlindungan terhadap korban.
(2) Peran serta
masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh perorangan,
lembaga sosial kemasyarakatan, lembaga swadaya masyarakat, lembaga pendidikan,
lembaga keagamaan, swasta, lembaga adat, dan media massa
(3) Peran serta
masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. membentuk mitra
keluarga di tingkat kelurahan/desa oleh masyarakat;
b. melakukan
sosialisasi tentang TPPO dan KTPA, hak Perempuan dan Anak secara mandiri;
c. melakukan
pertolongan kepada korban; dan/atau
d. melaporkan kepada
instansi yang berwenang apabila di lingkungannya terjadi tindak pidana
perdagangan orang dan kekerasan terhadap Perempuan dan Anak.
(4) Tata cara peran
serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) lebih lanjut diatur dalam
Peraturan Bupati.
Pasal 28
(1) Untuk mendorong
dan menghargai peran serta masyarakat, Pemerintah Daerah dapat memberikan
penghargaan tahunan kepada individu atau lembaga yang memiliki peran aktif yang
nyata, terukur, berdampak pada penghapusan tindak pidana perdagangan orang dan
kekerasan terhadap Perempuan dan Anak
(2) Penghargaan
tahunan sebagaimana yang dimaksud pada
ayat (1) ditentukan melalui sebuah pemilihan dengan penilaian tim independen.
(3) Tata cara
pemilihan dan kriteria sebagaimana di maksud pada ayat (2) diatur dalam Surat Keputusan kepala P2TP2A dan
Gugus Tugas.
BAB X
PELAPORAN
Pasal 29
(1) Gugus Tugas wajib
melaporkan secara tertulis pelaksanaan pencegahan dan perlindungan korban
perdagangan orang.
(2) P2TP2A wajib
melaporkan pelaksanaan penyelenggaraan pencegahan dan perlindungan korban Perempuan
dan Anak korban tindak kekerasan.
(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) meliputi :
a.
administrasi;
b.
keuangan;
c.
pelayanan; dan
d.
kinerja;
(4) Laporan secara
tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) disampaikan
kepada Bupati.
(5) Penyampaian
laporan secara tertulis sebagaimana dimaksud ayat (4) dilaksanakan paling
sedikit 1 (satu) kali dalam 6 (enam) bulan.
(6) Tata cara
pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan
ayat (5) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Bupati.
BAB XI
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 30
(1) Pemerintah Daerah
melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap lembaga
dan gugus tugas yang melaksanakan perlindungan korban perdagangan orang dan tindak kekerasan terhadap Perempuan dan Anak.
(2) Pembinaan dan
pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui:
a. koordinasi;
b. pendidikan dan pelatihan;
c. bimbingan; dan
d. pemantauan dan
evaluasi.
(3) Koordinasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a mencakup aspek yang berkaitan dengan
perencanaan dan pelaksanaan.
(4) Pendidikan dan
pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dimaksudkan untuk
peningkatan kapasitas sumber daya manusia lembaga yang memberikan perlindungan pada korban.
(5) Bimbingan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c mencakup aspek yang berkaitan dengan
perencanaan, pelaksanaan, tata laksana, pendanaan, kualitas, pengendalian dan
pengawasan.
(6) Pemantauan dan evaluasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk mengkaji efektifitas pelaksanaan
peraturan daerah sebagai dasar dalam penyusunan kebijakan.
(7) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh SKPD terkait.
(8) Tata cara
pembinaan dan pengawasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati.
BAB XII
PEMBIAYAAN
Pasal 31
Pembiayaan
penyelenggaraan perlindungan korban perdagangan
orang dan tindak kekerasan terhadap Perempuan dan Anak bersumber dari:
a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Lombok Timur; dan
b. sumber lain yang sah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Pasal 32
(1) Pemerintah Daerah berkewajiban memberikan bantuan pembiayaan kepada
organisasi masyarakat, organisasi sosial atau lembaga swadaya masyarakat yang
melaksanakan perlindungan korban
perdagangan orang dan tindak kekerasan terhadap Perempuan dan Anak.
(2) Bantuan pembiayaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sesuai dengan kemampuan keuangan daerah, dan dilaksanakan sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB XIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 33
(1) Peraturan yang ada
sebelum berlakunya Peraturan Daerah ini masih tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan Peraturan Daerah ini.
(2) Lembaga yang sudah
ada sebelum berlakunya Peraturan Daerah ini tetap melaksanakan tugasnya dan menyesuaikan
dengan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Daerah ini.
BAB XIV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 34
Peraturan pelaksanaan
dari Peraturan Daerah ini ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun setelah
diundangkan Peraturan Daerah ini.
Pasal 35
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan
penempatan dalam Lembaran Daerah Kabupaten Lombok Timur
Ditetapkan di Selong
pada tanggal 31 Desember 2013
BUPATI LOMBOK TIMUR,
Ttd
MOCH. ALI BIN DACHLAN
Diundangkan di Selong
pada tanggal 31 Desember 2013
SEKRETARIS DAERAH
KABUPATEN LOMBOK
TIMUR
Ttd
USMAN MUHSAN
LEMBARAN DAERAH
KABUPATEN LOMBOK TIMUR TAHUN 2013 NOMOR 9
Salinan sesuai
dengan aslinya
KEPALA BAGIAN HUKUM
SETDA
KABUPATEN
LOMBOK TIMUR,
LALU DHEDI KUSMANA,
SH.,MH.
Pembina (IV/a)
|
NIP. 19760229 200003 1 002
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH
KABUPATEN LOMBOK TIMUR
NOMOR 9 TAHUN 2013
TENTANG
PERLINDUNGAN
KORBAN PERDAGANGAN ORANG DAN
PEREMPUAN DAN ANAK
DARI TINDAK KEKERASAN
I.
UMUM
Negara memiliki kewajiban untuk
memberikan rasa aman kepada warga Negaranya dari ancaman dan tindakan yang
dapat mengganggu dan merusak keamanan kejiwaan, fisik, seksual maupun ekonomi.
Hal tersebut secara filosofis dinyatakan pada pembukaan UUD 1945, bahwa tujuan
dibentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah melindungi segenap Bangsa
dan Tumpah Darah Indonesia
Setiap orang
berhak untuk bebas dari perdagangan orang dan penyiksaan atau perlakuan yang
merendahkan derajat manusia serta berhak atas rasa aman dan bebas dari segala
bentuk tindak kekerasan; tindak pidana perdagangan
orang dan tindak kekerasan terhadap Perempuan dan Anak.
Perdagangan orang
dan tindak kekerasan terhadap Perempuan dan Anak merupakan pelanggaran hak asasi manusia sehingga perlu dilindungi harga diri dan
martabatnya serta dijamin hidupnya sesuai dengan fitrah dan kodratnya sebagai
manusia.
Modus kejahatan
tindak pidana perdagangan orang dan tindak kekerasan terhadap Perempuan dan
Anak di Kabupaten Lombok Timur terus
meningkat, sehingga diperlukan upaya pencegahan terjadinya dan perlindungan
kepada korban.
Peraturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai
perlindungan korban perdagangan orang dan Perempuan dan Anak korban
tindak kekerasan belum mengatur upaya-upaya pencegahan dan perlindungan di
daerah sehingga diperlukan dukungan kelembagaan dan peraturan yang digunakan
sebagai jaminan hukum dalam pelaksanaannya.
Pemerintah dan
Dewan Perwakilan Rakyat telah menetapkan berbagai regulasi yang mengatur
tentang hal tersebut, seperti Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Pencegahan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Selain itu, berbagai regulasi yang
lain banyak mengatur tentang pencegahan dan perlindungan dari kekerasan.
Fakta-fakta
empiris yang terjadi di lapangan, khususnya di Kabupaten Lombok Timur
menunjukkan bahwa kasus perdagangan orang dan tindak kekerasan terhadap
Perempuan dan Anak cukup banyak, sehingga berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan, Pemerintah Daerah dapat menetapkan kebijakan
dan program untuk pencegahan dan perlindungan terhadap korban tindak pidana
perdagangan orang dan perlindungan Perempuan dan Anak dari tindak kekerasan
dalam bentuk Peraturan Daerah.
Upaya untuk
mengatasi hal tersebut sudah mulai dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten
Lombok Timur dengan membentuk Gugus Tugas untuk pencegahan dan perlindungan
korban Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan pembentukan Pusat Pelayanan
Terpadu Pencegahan dan Perlindungan
Korban Tindak Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak, namun perlu legitimasi hukum dalam bentuk
Peraturan Daerah.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Huruf a
Yang dimaksud dengan kemanusiaan adalah
dalam penyelenggaraan perlindungan kepada korban harus memperhatikan dan
menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia.
Huruf b
Yang dimaksud dengan kesetaraan gender
dalam penyelenggaraan perlindungan kepada korban adalah tidak boleh ada
diskriminasi antara laki dan perempuan
Huruf c
Yang dimaksud dengan nondiskriminasi
adalah dalam penyelenggaraan perlindungan terhadap korban tidak boleh ada
pembedaaan perlakuan.
Huruf d
Yang dimaksud dengan kepentingan terbaik
bagi korban adalah dalam penyelenggaraan perlindungan selalu mengutamakan
kebutuhan korban
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Pemberian layanan kepada korban perdagangan meliputi antara lain
bimbingan, konseling dan bantuan hukum.
Huruf c
Cukup jelas
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Cukup jelas
Pasal 8
Cukup jelas
Pasal 9
Cukup jelas
Pasal
10
Cukup jelas
Pasal
11
Cukup jelas
Pasal
12
Huruf a
Yang dimaksud
dengan pelayanan cepat adalah adalah tindakan
segera yang dilakukan tanpa berbelit-belit atau prosedur dipermudah
Huruf b
Yang dimaksud
dengan aman dan nyaman adalah jaminan perlindungan
pelayanan yang terasa nyaman, tidak diganggu, dan dilayani dengan ramah,
menghormati dan menghargai.
Huruf c
Yang dimaksud dengan empati adalah tindakan
menghargai, menghormati, menyayangi, bersahabat, dan membahagiakan yang
bertujuan menyenangkan dan menenteramkan hati korban
Huruf d
Yang dimaksud
dengan nondiskriminasi adalah sikap dan perlakuan terhadap korban dengan tidak
melakukan perbedaan atas dasar usia, jenis kelamin, ras, suku, agama dan antar
golongan.
Huruf e
Yang dimaksud dengan mudah dijangkau adalah penyelenggaraan pelayanan dan
pendampingan untuk semua orang tanpa memandang status sosialnya, sehingga
pelayanan tersebut murah bagi kalangan tidak mampu atau relatif cukup bagi
kalangan mampu.
Huruf f
Yang dimaksud dengan tidak dikenakan biaya adalah kegiatan penyelenggaraan pelayanan dan pendampingan yang dilakukan oleh
P2TP2A dan gugus tugas tidak dibebankan biaya pada korban.
Huruf g
Yang dimaksud dijamin kerahasiaan adalah upaya jaminan kepastian bagi
korban untuk tidak disebarluaskan mengenai identitas dirinya dalam perawatan medis dan penanganan
hukum.
Pasal 13
Cukup jelas
Pasal
14
Cukup jelas
Pasal 15
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Yang dimaksud dengan medicolegal
adalah bentuk layanan medis untuk kepentingan
pembuktian di bidang hukum
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Cukup jelas
Pasal
16
Cukup jelas
Pasal
17
Cukup jelas
Pasal
18
Cukup jelas
Pasal
19
Cukup jelas
Pasal
20
Cukup jelas
Pasal
21
Cukup jelas
Pasal
22
Cukup jelas
Pasal
23
Cukup jelas
Pasal
24
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Dalam pembentukan gugus tugas disusun dengan mengacu pada Panduan Gugus
Tugas TPPO oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal
25
Cukup jelas
Pasal
26
Cukup jelas
Pasal
27
Cukup jelas
Pasal
28
Ayat (1)
Cukup
jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud Tim Independen adalah Tim yang
diambil dari Tim P2TP2A dan Gugus Tugas TPPO ditambah dengan tokoh masyarakat,
Kadus dan Kepala Desa
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal
29
Cukup jelas
Pasal
30
Cukup jelas
Pasal
31
Cukup jelas
Pasal
32
Cukup jelas
Pasal
33
Cukup
jelas
Pasal
34
Cukup jelas
Pasal
35
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR NOMOR 7
Langganan:
Postingan (Atom)